Thursday, November 27, 2008

MENJAWAB PANGGILAN ‘LEWOTANA’

RESENSI BUKU


--------------------------------------------------------------------------------------------

Judul : Lewo Mayen Tana Doen

Kebudayaan Suku Lamaku dan Lamaole di Pulau Solor

Penulis : Jacob J. Herin

Penerbit : .........................

Tahun Terbit : 2008

Tebal : 161 Halaman

Ukuran : 19 x 12 Cm

--------------------------------------------------------------------------------------------

Dewasa ini sudah cukup banyak karya tulis yang mendokumentasikan sejarah dan kebudayaan masyarakat Lamaholot, sebuah istilah untuk menyebut kelompok masyarakat yang mendiami daratan Pulau Flores bagian timur dan beberapa pulau kecil di sekitarnya (Solor, Adonara dan Lembata). Tetapi, karya tulis yang secara khusus mendokumentasikan sejarah dan kebudayaan Pulau Solor, kiranya belum terlalu banyak. Lebih sedikit lagi, atau bahkan hampir tidak ada karya tulis yang mengangkat sejarah dan budaya pada tingkatan yang sangat lokal (dusun atau desa).

Berangkat dari keprihatinan tersebut, Jacob J. Herin salah satu putra Solor kelahiran Desa Lewotanaole, Solor Barat yang selama ini mendedikasikan diri di dunia jurnalistik menulis buku mungil ini. Buku ini tidak mengangkat kisah sejarah dan budaya pada skala yang luas—dalam arti mencakup seluruh entitas yang disebut Lamaholot. Buku ini pun tidak membicarakan sejarah dan budaya Pulau Solor. Buku ini ’hanya’ berkisah tentang masyarakat di dua dusun terpencil di Kecamatan Solor Barat, Kabupaten Flores Timur yaitu Dusun Lamaku dan Lamaole yang nyaris tidak dikenal pihak luar.

Dalam Kata Pengantar, Jacob J. Herin menulis, ”Buku ini ditulis untuk para pembaca generasi muda yang tertarik pada kebudayaan asli khususnya kebudayaan asli Suku Lamaku dan Lamaole di Pulau Solor yang selama ini hampir tidak dikenal orang” (Halaman 7). Herin tidak bermimpi terlalu tinggi tentang kampung halamannya. Dia hanya ingin agar generasi muda dapat mengenal sebuah entitas budaya yang jauh dari pusaran peradaban dunia dan yang hingga masih memeluk teguh adat istiadat asli di tengah arus kuat modernisme dan globalisme.

Kendati demikian, Herin tidak mati-matian mempertahankan tradisionalisme. Ia malah menuntut saudara-saudaranya di kampung agar bersikap positif terhadap berbagai penetrasi budaya dari luar. Hal ini bukan lantaran budaya asli sudah tidak mampu menjawab berbagai tantangan baru yang datang secara bertubi-tubi. Sikap positif ini lebih dilihat sebagai peluang menuju transformasi budaya.

Anak kampung yang sudah melanglang buana ke berbagai daerah ini menyadari bahwa ada tegangan luar biasa antara tradisionalisme di satu pihak dan modernisme di lain pihak. Jika masyarakat tidak cukup arif menyiasati perkembangan yang ada, maka hanya ada dua pilihan: masyarakat lokal akan terlempar dari derap kemajuan dan tetap tinggal sebagai masyarakat tradisional (yang miskin dan terkebelakang) atau terseret dalam gelegar modernisasi dengan konsekuensi kehilangan jati diri karena tercerabut dari sejarah dan akar budayanya sendiri.

Karena itu, Herin menandaskan ”Kebudayaan lokal di Pulau Solor khususnya kebudayaan Suku Lamaku dan Lamaole di Desa Lewotanaole dituntut bersikap positif terhadap transformasi budaya, artinya perubahan budaya menuju suatu kehidupan yang lebih baik, yang lebih bernilai tanpa adanya rasa rendah diri dan tanpa rasa takut terhadap pengaruh nasional maupun global” (Halaman 11).

***

Judul buku ini, Lewo Mayen Tana Doen” jika diterjemahkan secara bebas artinya panggilan kampung halaman atau panggilan ’lewotana’ (istilah khas masyarakat Lamaholot untuk menyebut kampung halaman). Judul ini diambil dari sebaris syair dalam sastra adat Lamaholot (Koda Kelake) yang dituturkan seorang tua adat pada momen penerimaan imam baru di kampung Lamaole pada 19 Juli 2002 (Halaman 30 – 31). Koda kelake khususnya mitos tentang asal-usul (tutu maring usu-asa) seperti contoh yang diangkat Herin mempunyai tempat sentral dalam budaya Lamaholot karena memberi legitimasi magis tentang asal-usul dan hirarki kekuasaan suku-suku atas lewotana dan nura newa (tanah ulayat).

Syair ini ditempatkan dalam bahasan tentang Rumah Adat. Dalam budaya Lamaholot, rumah adat atau korke/koke adalah tempat upacara atau ritus, juga acap kali digunakan sebagai tempat pertemuan adat. Fungsinya sangat penting sebagai sarana untuk mendekatkan diri dengan wujud tertinggi yang disebut Ama Lera Wulan, Ina Tana Ekan (Bapa Matahari-Rembulan, Ibu Bumi) atau dalam dialek Lamaole/Lamaku Lera Wulen Tana Eken. Selain itu, simbol yang cukup penting dalam budaya Lamaholot adalah nuba nara (batu pemujaan) dan namang atau nama (tempat menari).

Contoh mitos asal-usul juga dikisahkan secara khusus pada topik tentang Legenda (Halaman 19 – 27). Di sana Herin mencatat kisah asal-usul Suku Ole dan Suku Gapun. Disebutkan, kedua suku ini merupakan tuan tanah. Pasalnya, Suku Ole itu deka teti lodo (jatuh dari langit) sedangkan Suku Gapun itu bego lali tana one gere (muncul dari dalam tanah). Sayangnya, mitos asal-usul Suku Ole dan Suku Gapun ini tidak dikisahkan dalam bentuk syair sastra.

***

Buku ini nampaknya merupakan himpunan catatan-catatan lepas Jacob J. Herin dalam rentang waktu yang cukup lama. 19 topik yang disajikan secara ringkas dalam buku ini merupakan hasil wawancara dengan sejumlah narasumber (sebagian besar telah almarhum saat buku ini diterbitkan) maupun hasil pengamatan dan refleksinya atas berbagai fenomena sosio-kultural yang terjadi di tanah kelahirannya.

Melalui buku kecil ini, Jacob J. Herin berusaha membawa pembaca untuk mengenal dari dekat berbagai aspek dan dimensi kehidupan masyarakat Dusun Lamaku dan Lamaole. Herin berupaya sekuat tenaga menjadi pengantar yang baik bagi pembaca untuk mengenal panorama budaya kampung halamannya sambil sesekali menyentak pembaca dengan catatan kritis dan reflektif atas gejala sosio-kultural yang muncul.

Cukup menarik bahwa Jacob J. Herin mulai ’memanggungkan’ kisah kampung halamannya ini dibawah topik kebudayaan dan mengakirinya dengan sebuah upaya rekonstruksi jejak para leluhur sampai ke negeri Cina dan India Belakang.

Dalam sastra lisan di beberapa kampung lain, para penutur mengisahkan asal-usul mereka nun jauh di sebelah barat.

Doan bo lau Sina koto klopot (Jauh di Cina kepala gundul)

Lela bo lau Son gei gole (Nun di Son cukur keliling)

Mereka terpaksa berlayar mencari kehidupan ke wilayah timur lantaran musibah air bah yang menenggelamkan negeri mereka.

Pukenen ma’E ta’E go iti lei lodo pana

Pukenen mora bora go plilin lima wajon gawe

Go odo tena koon watan lau

Go gehan laja koon ai lali

(Lantaran banjir bandang saya bergegas jalan

Lantaran air bah saya singsing lengan mengayun langkah

Saya dorong perahu ke arah laut selatan

Saya tarik layar ke arah bawah)

Terlepas dari berbagai kekurangan yang ada, buku ini pantas dibaca oleh para pecinta sejarah dan budaya lokal dan siapa saja yang merasa tergerak untuk menjawab panggilan lewotana. (J.K. Fery Soge)

Friday, November 14, 2008

Apresiasi Terhadap Film Dokumenter

Oleh: Marselina Sarina *)


FILM Prahara Tsunami Bertabur Bakau karya Emanuel Tome Hayon dan Mikhael Yosviranto (Keduanya mahasiswa STFK Ledalero—Maumere), Sabtu (25/10/2008) malam terpilih sebagai karya terbaik film dokumenter kompetisi Eagle Awards 2008 yang diselenggarakan oleh Metro TV. Film tersebut juga dinyatakan sebagai film favorit pilihan pemirsa yang dilakukan lewat polling pesan singkat elektronik (SMS).

Warga NTT umumnya dan Kabupaten Sikka khususnya tentu berdecak kagum dan ikut merasa bangga karena kedua sineas muda kita dapat mengalahkan para kompetitor dari berbagai daerah lain.

Namun, decak kagum dan rasa bangga itu jauh dari lubuk hati para pihak yang terlibat dalam Program Rehabilitasi Hutan Bakau di Teluk Ndete, Kecamatan Magepanda (Dulu Kecamatan Nita), Kabupaten Sikka tahun 1997. Bagi para pihak yang terlibat, film ini ditonton sebagai karya fiktif, manipulatif dan ahistoris. Mengapa? Karena karya ini dibuat dengan tidak berpijak pada kenyataan yang ada. Lebih tepat, film ini dimasukan ke dalam kategori “sinetron” bukan film dokumenter. Sebab, sebuah karya dokumeter harus mengutamakan fakta-fakta historis dan tidak menggelapkan para pihak yang terlibat.

Kami akan memperlihatkan secara rinci bahwa karya tersebut merupakan karya fiktif, manipulatif dan ahistoris. Apresiasi ini kami buat berdasarkan sinopsis film yang dipublikasi panitia melalui webside Metro TV di www.metrotvnews.com.

Sinopsis

Cerita ini berangkat dari perjuangan seorang Baba Akong yang secara gigih melestarikan lingkungan dengan menanam lebih dari 23 hektar bakau. Semangat menanam pohon bakau ini berawal dari bencana Tsunami yang terjadi tanggal 12 Desember tahun 1992 di Flores, NTT. Akibat tsunami daerah yang ia tinggali dipinggir pantai tepatnya di desa Ndete, Kecamatan Magepanda Kabupaten Sikka, NTT ditutupi air laut dan hingga kini desa tersebut ada didasar laut. Kejadian pahit yang membekas tersebut mendorong Baba Akong untuk menanam pohon Bakau di sepanjang pantai di daerahnya. Hingga kini pohon bakau yang tumbuh mencapai 23 hektar lebih. Kesemua perjuangan itu tidak dibiayai oleh pemerintah atau siapa saja tetapi pribadinya sendiri yang mana biaya perawatan dan pembibitannya diperoleh melalui menjual ikan. Hasil jualan ikan ia gunakan membeli bibit pohon bakau. Atas kesadaran ini ia menjaga hutan bakau hasil jerih payahnya sendiri, siapa pun tidak boleh menebang pohon bakau bahkan menembak burung- burung yang ada di dalam hutan bakau tersebut. Kesadarannya juga membuat dia sempat beradu mulut dan berkelahi dengan tentara Angkatan Laut yang hendak mencuri kayu dalam hutan bakau. Berkat perjuangan tersebut sekarang ia masuk nominasi Perintis lingkungan dalam penghargaan Kalpataru yang diberikan oleh Pemerintah di tahun 2008 ini.

Apresiasi

Cerita ini berangkat dari perjuangan seorang Baba Akong yang secara gigih melestarikan lingkungan dengan menanam lebih dari 23 hektar bakau. Semangat menanam pohon bakau ini berawal dari bencana Tsunami yang terjadi tanggal 12 Desember tahun 1992 di Flores, NTT.

Baba Akong (nama aslinya Viktor Emanuel Rayon) memang gigih melestarikan lingkungan, tetapi dia bukan satu-satunya dalam upaya rehabilitasi hutan bakau di Ndete pada areal seluas 23 hektar. Areal yang bisa diklaim sebagai perjuangan Baba Akong hanya sebatas di atas tanah miliknya. Sementara kawasan di luar itu merupakan hasil dari Program Rehabilitasi Hutan Bakau yang dipelopori oleh Direktur Yayasan Karya Sosial (YKS) Maumere, Ignasius da Cunha (almarhum). Program ini dikembangkan dengan metodologi partisipatif pada tahun 1997. Ada banyak pihak yang terlibat. Sebelum kegiatan dimulai dilakukan diskusi penyadaran dan perencanaan bersama menggunakan teknik-teknik PRA (Partisipatory Rural Appraisal). Kegiatan perencanaan bersama ini diselenggarakan YKS Maumere dengan dukungan dari Yayasan Kehati Jakarta. Sementara partisipan dalam kegiatan tersebut adalah para anggota Kelompok Usaha Bersama Simpan Pinjam (UBSP) Bulan Indah, Ndete, Mageloo, para tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh adat dan kalangan pemuda setempat. Direktur Yayasan Kasimo-Maumere saat itu, Drs. Alexander Longginus menjadi fasilitator kegiatan. Untuk diketahui, Baba Akong adalah tenaga teknis dalam program tersebut.

Luas areal hutan bakau di wilayah itu memang mencapai sekitar 23 hektar. Tetapi 50 persen di antaranya adalah hutan bakau asli yang lolos dari terjangan tsunami tahun 1992. Total areal penanaman yang melibatkan banyak pihak ini hanya sekitar 12 hektar dari rencana semula seluas 20 hektar. Penanaman selanjutnya dilakukan oleh berbagai instansi pemerintah, TNI-Polri, kelompok masyarakat, para pemuda dan kalangan pelajar setempat. Jadi, tidak benar bahwa Baba Akong dengan inisiatif sendiri menanam bakau pada kawasan seluas 23 hektar itu.

Akibat tsunami daerah yang ia tinggali dipinggir pantai tepatnya di desa Ndete, Kecamatan Magepanda Kabupaten Sikka, NTT ditutupi air laut dan hingga kini desa tersebut ada didasar laut.

Prahara tsunami itu sama sekali tidak menenggelamkan Ndete. Sampai saat ini, kampung tersebut masih berada di darat. Sekedar info, Ndete belum naik kelas menjadi desa. Kampung tersebut masih berada di dalam wilayah Desa Reroroja. Ini merupakan pernyataan yang tidak berdasarkan fakta. Sangat disayangkan, bahwa kedua penulis naskah film ini mengabaikan kebenaran hanya untuk mendramatisir keadaan sehingga bisa lolos seleksi.

Kejadian pahit yang membekas tersebut mendorong Baba Akong untuk menanam pohon Bakau di sepanjang pantai di daerahnya. Hingga kini pohon bakau yang tumbuh mencapai 23 hektar lebih.

Kejadian pahit itu memang sangat membekas dalam ingatan kolektif masyarakat Kabupaten Sikka, bukan hanya dalam ingatan Baba Akong. Dia memang terdorong menanam bakau, untuk melindungi tambak ikan bandengnya. Tetapi inisiatif untuk mengembangkan penanaman dalam skala yang lebih luas datang dari Direktur YKS Maumere, Ignasius da Cunha. Data-data kegiatan yang tersimpan dalam arsip kami menyebutkan, Baba Akong mulai menanam bakau di tanah miliknya sendiri sejak tahun 1992 sebanyak 2.000 pohon. Sementara kegiatan yang melibatkan banyak pihak pada tahun 1997 sekitar 7.000 pohon. Perlu diketahui, kegiatan rehabilitasi dengan anakan bakau sebanyak itu dilakukan di atas tanah milik Mosalaki Ria Bewa Magepanda, Paulus Mude (almarhum). Tanah itu dihibahkan kepada YKS dan UBSP Bulan Indah oleh isteri almarhum, Mama Lodovika. Surat pernyataan hibah masih kami simpan sampai saat ini.

Kesemua perjuangan itu tidak dibiayai oleh pemerintah atau siapa saja tetapi pribadinya sendiri yang mana biaya perawatan dan pembibitannya diperoleh melalui menjual ikan. Hasil jualan ikan ia gunakan membeli bibit pohon bakau.

Pernyataan ini tidak benar. Karena Gerakan Rehabilitasi Hutan Bakau di Teluk Ndete itu didukung oleh Yayasan Kehati Jakarta sebesar Rp 15 juta. Dana ini digunakan untuk kegiatan PRA, musyawarah sosial, penyiapan bibit bakau, pengadaan alat (skop, tali, bambu, dll), pembuatan dua buah papan nama, serta biaya penanaman dan perawatan. Selain itu, saat penanaman perdana pada Sabtu 11 Oktober 1997, Bupati Sikka waktu itu, Bapak Alexander Idong menyerahkan sumbangan sebesar Rp 1 juta kepada Ketua UBSP Bulan Indah, Petrus Rinu. Sumbangan lainnya berasal dari Ketua Yayasan Citra Lestari, Maumere, Ny. Cholthide Pora Sega sebesar Rp 250.000. Dana bantuan Yayasan Kehati Jakarta ini juga ikut dinikmati oleh Baba Akong sebagai tenaga teknis yang menyiapkan bibit bakau. Jadi, pernyataan bahwa “perjuangan itu tidak dibiayai oleh pemerintah atau siapa saja”, merupakan pernyataan bohong dan ahistoris. Ini suatu bentuk penipuan publik dan upaya memanipulasi fakta untuk kepentingan diri sendiri. Jika pernyataan itu berkaitan dengan upaya penanaman bakau di lokasi miliknya sendiri, maka pernyataan ini dapat diuji kebenarannya. Tetapi jika dimaksudkan untuk keseluruhan areal bakau seluas 23 hektar di Ndete, maka pernyataan tersebut merupakan klaim sepihak dan cenderung menggelapkan peran-serta berbagai kalangan yang terlibat dalam kegiatan tersebut. Ada kecenderungan kuat pula, Baba Akong hendak mengkultuskan diri sebagai pendekar lingkungan di Ndete.

Atas kesadaran ini ia menjaga hutan bakau hasil jerih payahnya sendiri, siapa pun tidak boleh menebang pohon bakau bahkan menembak burung-burung yang ada di dalam hutan bakau tersebut.

Benar bahwa Baba Akong menjaga lokasi tersebut. Tetapi sekali lagi, lokasi tersebut bukan hasil jerih payah Baba Akong dan keluarganya sendiri. Masyarakat sekitar, terutama Kelompok UBSP Bulan Indah pun ikut menjaga lokasi tersebut. Kami kiranya dapat memahami mengapa sampai terjadi klaim sepihak semacam ini. Hal itu lantaran dua papan nama yang ada di lokasi tersebut telah hancur dimakan usia. Agar tidak terjadi klaim lagi, YKS dan UBSP Bulan Indah saat ini sedang berencana untuk memasang kembali papan larangan bagi siapa saja, termasuk Baba Akong dan keluarganya untuk memasuki wilayah itu tanpa ijin dari YKS dan UBSP Bulan Indah.

Kesadarannya juga membuat dia sempat beradu mulut dan berkelahi dengan tentara Angkatan Laut yang hendak mencuri kayu dalam hutan bakau.

Kami tidak mempunyai data dan tidak mempunyai niat untuk melakukan konfirmasi kepada pihak Angkatan Laut soal ini. Andaikata kedua penulis memiliki naluri jurnalistik, sebagaimana diakui dalam biodata mereka, mestinya mereka melakukan konfirmasi kepada pihak Angkatan Laut. Hal ini sangat penting dalam menjaga akurasi data dan menghindarkan diri dari apa yang disebut pencemaran nama baik.

Berkat perjuangan tersebut sekarang ia masuk nominasi Perintis lingkungan dalam penghargaan Kalpataru yang diberikan oleh Pemerintah di tahun 2008 ini.

Jika pemerintah hendak memberikan penghargaan kalpataru, maka pihak yang paling pantas adalah Kelompok UBSP Bulan Indah. Karena kelompok inilah yang merencanakan, menanam dan merawat bakau di Ndete, Desa Reroroja, Kecamatan Magepanda, Kabupaten Sikka di luar tanah milik Baba Akong.

Kesimpulan

Pertama, film ini tidak layak untuk mendapat penghargaan Eagle Award karena fakta-fakta yang diangkat tidak benar alias fiktif, manipulatif dan ahistoris. Sebuah film, terutama dari kategori dokumenter, menurut hemat kami, pada tempat pertama dan terutama harus mengabdi pada kebenaran. Kebenaran yang dimaksud di sini bukan kebenaran dalam arti filosofis, tetapi kebenaran dalam pengertian praktis. Atau tepatnya, kebenaran jurnalistik. Naskah film dokumenter itu harusnya merupakan hasil dari suatu proses yang dimulai dengan disiplin profesional dalam pengumpulan dan verifikasi fakta. Sehingga naskah yang dihasilkan merupakan sebuah naskah yang adil dan terpercaya.

Kedua, kompetisi film yang diselenggarakan Metro TV ini merupakan ajang bagi para pemula. Kedua penulis naskah Prahara Tsunami Bertabur Bakau ini pun merupakan pemula. Tetapi, urusan kebenaran tidak terkait dengan predikat pemula atau profesional. Inti dari penulisan naskah film dokumenter atau karya tulis apa pun adalah disiplin untuk melakukan verifikasi. Penulis perlu mencari berbagai saksi, menyingkap sebanyak mungkin sumber atau bertanya kepada berbagai pihak. Dalam bahasa jurnalistik, penulis perlu melakukan cover bothside atau bahkan cover allside.

Ketiga, maksud kedua penulis untuk mengangkat cerita yang dapat memberikan pencerahan terhadap usaha menjaga keseimbangan alam dan lingkungan, nampaknya tidak tercapai. Pasalnya, film yang mendokumentasikan kebohongan ini sama sekali tidak membawa pencerahan. Sinetron dari Ndete ini, justru menimbulkan banyak kegusaran dan sumpah serapah dari berbagai pihak.

Keempat, bertolak dari fakta-fakta yang telah diuraikan di atas, maka kami menyarankan agar film tersebut tidak ditayang kembali. Atau bila perlu didiskualifikasi dari penghargaan Eagle Award 2008. Kami kuatir, film ini justru dapat memicu terjadinya konflik horisontal di Ndete. Janganlah kiranya kita mendorong warga setempat untuk menuai prahara dari film yang bertabur kebohongan ini.

*) Penulis adalah PLH Direktur Yayasan Karya Sosial (YKS)--Maumere dan Mantan Pimpro Program Rehabilitasi Hutan Bakau Teluk Ndete, Magepanda tahun 1997.