Thursday, November 27, 2008

MENJAWAB PANGGILAN ‘LEWOTANA’

RESENSI BUKU


--------------------------------------------------------------------------------------------

Judul : Lewo Mayen Tana Doen

Kebudayaan Suku Lamaku dan Lamaole di Pulau Solor

Penulis : Jacob J. Herin

Penerbit : .........................

Tahun Terbit : 2008

Tebal : 161 Halaman

Ukuran : 19 x 12 Cm

--------------------------------------------------------------------------------------------

Dewasa ini sudah cukup banyak karya tulis yang mendokumentasikan sejarah dan kebudayaan masyarakat Lamaholot, sebuah istilah untuk menyebut kelompok masyarakat yang mendiami daratan Pulau Flores bagian timur dan beberapa pulau kecil di sekitarnya (Solor, Adonara dan Lembata). Tetapi, karya tulis yang secara khusus mendokumentasikan sejarah dan kebudayaan Pulau Solor, kiranya belum terlalu banyak. Lebih sedikit lagi, atau bahkan hampir tidak ada karya tulis yang mengangkat sejarah dan budaya pada tingkatan yang sangat lokal (dusun atau desa).

Berangkat dari keprihatinan tersebut, Jacob J. Herin salah satu putra Solor kelahiran Desa Lewotanaole, Solor Barat yang selama ini mendedikasikan diri di dunia jurnalistik menulis buku mungil ini. Buku ini tidak mengangkat kisah sejarah dan budaya pada skala yang luas—dalam arti mencakup seluruh entitas yang disebut Lamaholot. Buku ini pun tidak membicarakan sejarah dan budaya Pulau Solor. Buku ini ’hanya’ berkisah tentang masyarakat di dua dusun terpencil di Kecamatan Solor Barat, Kabupaten Flores Timur yaitu Dusun Lamaku dan Lamaole yang nyaris tidak dikenal pihak luar.

Dalam Kata Pengantar, Jacob J. Herin menulis, ”Buku ini ditulis untuk para pembaca generasi muda yang tertarik pada kebudayaan asli khususnya kebudayaan asli Suku Lamaku dan Lamaole di Pulau Solor yang selama ini hampir tidak dikenal orang” (Halaman 7). Herin tidak bermimpi terlalu tinggi tentang kampung halamannya. Dia hanya ingin agar generasi muda dapat mengenal sebuah entitas budaya yang jauh dari pusaran peradaban dunia dan yang hingga masih memeluk teguh adat istiadat asli di tengah arus kuat modernisme dan globalisme.

Kendati demikian, Herin tidak mati-matian mempertahankan tradisionalisme. Ia malah menuntut saudara-saudaranya di kampung agar bersikap positif terhadap berbagai penetrasi budaya dari luar. Hal ini bukan lantaran budaya asli sudah tidak mampu menjawab berbagai tantangan baru yang datang secara bertubi-tubi. Sikap positif ini lebih dilihat sebagai peluang menuju transformasi budaya.

Anak kampung yang sudah melanglang buana ke berbagai daerah ini menyadari bahwa ada tegangan luar biasa antara tradisionalisme di satu pihak dan modernisme di lain pihak. Jika masyarakat tidak cukup arif menyiasati perkembangan yang ada, maka hanya ada dua pilihan: masyarakat lokal akan terlempar dari derap kemajuan dan tetap tinggal sebagai masyarakat tradisional (yang miskin dan terkebelakang) atau terseret dalam gelegar modernisasi dengan konsekuensi kehilangan jati diri karena tercerabut dari sejarah dan akar budayanya sendiri.

Karena itu, Herin menandaskan ”Kebudayaan lokal di Pulau Solor khususnya kebudayaan Suku Lamaku dan Lamaole di Desa Lewotanaole dituntut bersikap positif terhadap transformasi budaya, artinya perubahan budaya menuju suatu kehidupan yang lebih baik, yang lebih bernilai tanpa adanya rasa rendah diri dan tanpa rasa takut terhadap pengaruh nasional maupun global” (Halaman 11).

***

Judul buku ini, Lewo Mayen Tana Doen” jika diterjemahkan secara bebas artinya panggilan kampung halaman atau panggilan ’lewotana’ (istilah khas masyarakat Lamaholot untuk menyebut kampung halaman). Judul ini diambil dari sebaris syair dalam sastra adat Lamaholot (Koda Kelake) yang dituturkan seorang tua adat pada momen penerimaan imam baru di kampung Lamaole pada 19 Juli 2002 (Halaman 30 – 31). Koda kelake khususnya mitos tentang asal-usul (tutu maring usu-asa) seperti contoh yang diangkat Herin mempunyai tempat sentral dalam budaya Lamaholot karena memberi legitimasi magis tentang asal-usul dan hirarki kekuasaan suku-suku atas lewotana dan nura newa (tanah ulayat).

Syair ini ditempatkan dalam bahasan tentang Rumah Adat. Dalam budaya Lamaholot, rumah adat atau korke/koke adalah tempat upacara atau ritus, juga acap kali digunakan sebagai tempat pertemuan adat. Fungsinya sangat penting sebagai sarana untuk mendekatkan diri dengan wujud tertinggi yang disebut Ama Lera Wulan, Ina Tana Ekan (Bapa Matahari-Rembulan, Ibu Bumi) atau dalam dialek Lamaole/Lamaku Lera Wulen Tana Eken. Selain itu, simbol yang cukup penting dalam budaya Lamaholot adalah nuba nara (batu pemujaan) dan namang atau nama (tempat menari).

Contoh mitos asal-usul juga dikisahkan secara khusus pada topik tentang Legenda (Halaman 19 – 27). Di sana Herin mencatat kisah asal-usul Suku Ole dan Suku Gapun. Disebutkan, kedua suku ini merupakan tuan tanah. Pasalnya, Suku Ole itu deka teti lodo (jatuh dari langit) sedangkan Suku Gapun itu bego lali tana one gere (muncul dari dalam tanah). Sayangnya, mitos asal-usul Suku Ole dan Suku Gapun ini tidak dikisahkan dalam bentuk syair sastra.

***

Buku ini nampaknya merupakan himpunan catatan-catatan lepas Jacob J. Herin dalam rentang waktu yang cukup lama. 19 topik yang disajikan secara ringkas dalam buku ini merupakan hasil wawancara dengan sejumlah narasumber (sebagian besar telah almarhum saat buku ini diterbitkan) maupun hasil pengamatan dan refleksinya atas berbagai fenomena sosio-kultural yang terjadi di tanah kelahirannya.

Melalui buku kecil ini, Jacob J. Herin berusaha membawa pembaca untuk mengenal dari dekat berbagai aspek dan dimensi kehidupan masyarakat Dusun Lamaku dan Lamaole. Herin berupaya sekuat tenaga menjadi pengantar yang baik bagi pembaca untuk mengenal panorama budaya kampung halamannya sambil sesekali menyentak pembaca dengan catatan kritis dan reflektif atas gejala sosio-kultural yang muncul.

Cukup menarik bahwa Jacob J. Herin mulai ’memanggungkan’ kisah kampung halamannya ini dibawah topik kebudayaan dan mengakirinya dengan sebuah upaya rekonstruksi jejak para leluhur sampai ke negeri Cina dan India Belakang.

Dalam sastra lisan di beberapa kampung lain, para penutur mengisahkan asal-usul mereka nun jauh di sebelah barat.

Doan bo lau Sina koto klopot (Jauh di Cina kepala gundul)

Lela bo lau Son gei gole (Nun di Son cukur keliling)

Mereka terpaksa berlayar mencari kehidupan ke wilayah timur lantaran musibah air bah yang menenggelamkan negeri mereka.

Pukenen ma’E ta’E go iti lei lodo pana

Pukenen mora bora go plilin lima wajon gawe

Go odo tena koon watan lau

Go gehan laja koon ai lali

(Lantaran banjir bandang saya bergegas jalan

Lantaran air bah saya singsing lengan mengayun langkah

Saya dorong perahu ke arah laut selatan

Saya tarik layar ke arah bawah)

Terlepas dari berbagai kekurangan yang ada, buku ini pantas dibaca oleh para pecinta sejarah dan budaya lokal dan siapa saja yang merasa tergerak untuk menjawab panggilan lewotana. (J.K. Fery Soge)

Friday, November 14, 2008

Apresiasi Terhadap Film Dokumenter

Oleh: Marselina Sarina *)


FILM Prahara Tsunami Bertabur Bakau karya Emanuel Tome Hayon dan Mikhael Yosviranto (Keduanya mahasiswa STFK Ledalero—Maumere), Sabtu (25/10/2008) malam terpilih sebagai karya terbaik film dokumenter kompetisi Eagle Awards 2008 yang diselenggarakan oleh Metro TV. Film tersebut juga dinyatakan sebagai film favorit pilihan pemirsa yang dilakukan lewat polling pesan singkat elektronik (SMS).

Warga NTT umumnya dan Kabupaten Sikka khususnya tentu berdecak kagum dan ikut merasa bangga karena kedua sineas muda kita dapat mengalahkan para kompetitor dari berbagai daerah lain.

Namun, decak kagum dan rasa bangga itu jauh dari lubuk hati para pihak yang terlibat dalam Program Rehabilitasi Hutan Bakau di Teluk Ndete, Kecamatan Magepanda (Dulu Kecamatan Nita), Kabupaten Sikka tahun 1997. Bagi para pihak yang terlibat, film ini ditonton sebagai karya fiktif, manipulatif dan ahistoris. Mengapa? Karena karya ini dibuat dengan tidak berpijak pada kenyataan yang ada. Lebih tepat, film ini dimasukan ke dalam kategori “sinetron” bukan film dokumenter. Sebab, sebuah karya dokumeter harus mengutamakan fakta-fakta historis dan tidak menggelapkan para pihak yang terlibat.

Kami akan memperlihatkan secara rinci bahwa karya tersebut merupakan karya fiktif, manipulatif dan ahistoris. Apresiasi ini kami buat berdasarkan sinopsis film yang dipublikasi panitia melalui webside Metro TV di www.metrotvnews.com.

Sinopsis

Cerita ini berangkat dari perjuangan seorang Baba Akong yang secara gigih melestarikan lingkungan dengan menanam lebih dari 23 hektar bakau. Semangat menanam pohon bakau ini berawal dari bencana Tsunami yang terjadi tanggal 12 Desember tahun 1992 di Flores, NTT. Akibat tsunami daerah yang ia tinggali dipinggir pantai tepatnya di desa Ndete, Kecamatan Magepanda Kabupaten Sikka, NTT ditutupi air laut dan hingga kini desa tersebut ada didasar laut. Kejadian pahit yang membekas tersebut mendorong Baba Akong untuk menanam pohon Bakau di sepanjang pantai di daerahnya. Hingga kini pohon bakau yang tumbuh mencapai 23 hektar lebih. Kesemua perjuangan itu tidak dibiayai oleh pemerintah atau siapa saja tetapi pribadinya sendiri yang mana biaya perawatan dan pembibitannya diperoleh melalui menjual ikan. Hasil jualan ikan ia gunakan membeli bibit pohon bakau. Atas kesadaran ini ia menjaga hutan bakau hasil jerih payahnya sendiri, siapa pun tidak boleh menebang pohon bakau bahkan menembak burung- burung yang ada di dalam hutan bakau tersebut. Kesadarannya juga membuat dia sempat beradu mulut dan berkelahi dengan tentara Angkatan Laut yang hendak mencuri kayu dalam hutan bakau. Berkat perjuangan tersebut sekarang ia masuk nominasi Perintis lingkungan dalam penghargaan Kalpataru yang diberikan oleh Pemerintah di tahun 2008 ini.

Apresiasi

Cerita ini berangkat dari perjuangan seorang Baba Akong yang secara gigih melestarikan lingkungan dengan menanam lebih dari 23 hektar bakau. Semangat menanam pohon bakau ini berawal dari bencana Tsunami yang terjadi tanggal 12 Desember tahun 1992 di Flores, NTT.

Baba Akong (nama aslinya Viktor Emanuel Rayon) memang gigih melestarikan lingkungan, tetapi dia bukan satu-satunya dalam upaya rehabilitasi hutan bakau di Ndete pada areal seluas 23 hektar. Areal yang bisa diklaim sebagai perjuangan Baba Akong hanya sebatas di atas tanah miliknya. Sementara kawasan di luar itu merupakan hasil dari Program Rehabilitasi Hutan Bakau yang dipelopori oleh Direktur Yayasan Karya Sosial (YKS) Maumere, Ignasius da Cunha (almarhum). Program ini dikembangkan dengan metodologi partisipatif pada tahun 1997. Ada banyak pihak yang terlibat. Sebelum kegiatan dimulai dilakukan diskusi penyadaran dan perencanaan bersama menggunakan teknik-teknik PRA (Partisipatory Rural Appraisal). Kegiatan perencanaan bersama ini diselenggarakan YKS Maumere dengan dukungan dari Yayasan Kehati Jakarta. Sementara partisipan dalam kegiatan tersebut adalah para anggota Kelompok Usaha Bersama Simpan Pinjam (UBSP) Bulan Indah, Ndete, Mageloo, para tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh adat dan kalangan pemuda setempat. Direktur Yayasan Kasimo-Maumere saat itu, Drs. Alexander Longginus menjadi fasilitator kegiatan. Untuk diketahui, Baba Akong adalah tenaga teknis dalam program tersebut.

Luas areal hutan bakau di wilayah itu memang mencapai sekitar 23 hektar. Tetapi 50 persen di antaranya adalah hutan bakau asli yang lolos dari terjangan tsunami tahun 1992. Total areal penanaman yang melibatkan banyak pihak ini hanya sekitar 12 hektar dari rencana semula seluas 20 hektar. Penanaman selanjutnya dilakukan oleh berbagai instansi pemerintah, TNI-Polri, kelompok masyarakat, para pemuda dan kalangan pelajar setempat. Jadi, tidak benar bahwa Baba Akong dengan inisiatif sendiri menanam bakau pada kawasan seluas 23 hektar itu.

Akibat tsunami daerah yang ia tinggali dipinggir pantai tepatnya di desa Ndete, Kecamatan Magepanda Kabupaten Sikka, NTT ditutupi air laut dan hingga kini desa tersebut ada didasar laut.

Prahara tsunami itu sama sekali tidak menenggelamkan Ndete. Sampai saat ini, kampung tersebut masih berada di darat. Sekedar info, Ndete belum naik kelas menjadi desa. Kampung tersebut masih berada di dalam wilayah Desa Reroroja. Ini merupakan pernyataan yang tidak berdasarkan fakta. Sangat disayangkan, bahwa kedua penulis naskah film ini mengabaikan kebenaran hanya untuk mendramatisir keadaan sehingga bisa lolos seleksi.

Kejadian pahit yang membekas tersebut mendorong Baba Akong untuk menanam pohon Bakau di sepanjang pantai di daerahnya. Hingga kini pohon bakau yang tumbuh mencapai 23 hektar lebih.

Kejadian pahit itu memang sangat membekas dalam ingatan kolektif masyarakat Kabupaten Sikka, bukan hanya dalam ingatan Baba Akong. Dia memang terdorong menanam bakau, untuk melindungi tambak ikan bandengnya. Tetapi inisiatif untuk mengembangkan penanaman dalam skala yang lebih luas datang dari Direktur YKS Maumere, Ignasius da Cunha. Data-data kegiatan yang tersimpan dalam arsip kami menyebutkan, Baba Akong mulai menanam bakau di tanah miliknya sendiri sejak tahun 1992 sebanyak 2.000 pohon. Sementara kegiatan yang melibatkan banyak pihak pada tahun 1997 sekitar 7.000 pohon. Perlu diketahui, kegiatan rehabilitasi dengan anakan bakau sebanyak itu dilakukan di atas tanah milik Mosalaki Ria Bewa Magepanda, Paulus Mude (almarhum). Tanah itu dihibahkan kepada YKS dan UBSP Bulan Indah oleh isteri almarhum, Mama Lodovika. Surat pernyataan hibah masih kami simpan sampai saat ini.

Kesemua perjuangan itu tidak dibiayai oleh pemerintah atau siapa saja tetapi pribadinya sendiri yang mana biaya perawatan dan pembibitannya diperoleh melalui menjual ikan. Hasil jualan ikan ia gunakan membeli bibit pohon bakau.

Pernyataan ini tidak benar. Karena Gerakan Rehabilitasi Hutan Bakau di Teluk Ndete itu didukung oleh Yayasan Kehati Jakarta sebesar Rp 15 juta. Dana ini digunakan untuk kegiatan PRA, musyawarah sosial, penyiapan bibit bakau, pengadaan alat (skop, tali, bambu, dll), pembuatan dua buah papan nama, serta biaya penanaman dan perawatan. Selain itu, saat penanaman perdana pada Sabtu 11 Oktober 1997, Bupati Sikka waktu itu, Bapak Alexander Idong menyerahkan sumbangan sebesar Rp 1 juta kepada Ketua UBSP Bulan Indah, Petrus Rinu. Sumbangan lainnya berasal dari Ketua Yayasan Citra Lestari, Maumere, Ny. Cholthide Pora Sega sebesar Rp 250.000. Dana bantuan Yayasan Kehati Jakarta ini juga ikut dinikmati oleh Baba Akong sebagai tenaga teknis yang menyiapkan bibit bakau. Jadi, pernyataan bahwa “perjuangan itu tidak dibiayai oleh pemerintah atau siapa saja”, merupakan pernyataan bohong dan ahistoris. Ini suatu bentuk penipuan publik dan upaya memanipulasi fakta untuk kepentingan diri sendiri. Jika pernyataan itu berkaitan dengan upaya penanaman bakau di lokasi miliknya sendiri, maka pernyataan ini dapat diuji kebenarannya. Tetapi jika dimaksudkan untuk keseluruhan areal bakau seluas 23 hektar di Ndete, maka pernyataan tersebut merupakan klaim sepihak dan cenderung menggelapkan peran-serta berbagai kalangan yang terlibat dalam kegiatan tersebut. Ada kecenderungan kuat pula, Baba Akong hendak mengkultuskan diri sebagai pendekar lingkungan di Ndete.

Atas kesadaran ini ia menjaga hutan bakau hasil jerih payahnya sendiri, siapa pun tidak boleh menebang pohon bakau bahkan menembak burung-burung yang ada di dalam hutan bakau tersebut.

Benar bahwa Baba Akong menjaga lokasi tersebut. Tetapi sekali lagi, lokasi tersebut bukan hasil jerih payah Baba Akong dan keluarganya sendiri. Masyarakat sekitar, terutama Kelompok UBSP Bulan Indah pun ikut menjaga lokasi tersebut. Kami kiranya dapat memahami mengapa sampai terjadi klaim sepihak semacam ini. Hal itu lantaran dua papan nama yang ada di lokasi tersebut telah hancur dimakan usia. Agar tidak terjadi klaim lagi, YKS dan UBSP Bulan Indah saat ini sedang berencana untuk memasang kembali papan larangan bagi siapa saja, termasuk Baba Akong dan keluarganya untuk memasuki wilayah itu tanpa ijin dari YKS dan UBSP Bulan Indah.

Kesadarannya juga membuat dia sempat beradu mulut dan berkelahi dengan tentara Angkatan Laut yang hendak mencuri kayu dalam hutan bakau.

Kami tidak mempunyai data dan tidak mempunyai niat untuk melakukan konfirmasi kepada pihak Angkatan Laut soal ini. Andaikata kedua penulis memiliki naluri jurnalistik, sebagaimana diakui dalam biodata mereka, mestinya mereka melakukan konfirmasi kepada pihak Angkatan Laut. Hal ini sangat penting dalam menjaga akurasi data dan menghindarkan diri dari apa yang disebut pencemaran nama baik.

Berkat perjuangan tersebut sekarang ia masuk nominasi Perintis lingkungan dalam penghargaan Kalpataru yang diberikan oleh Pemerintah di tahun 2008 ini.

Jika pemerintah hendak memberikan penghargaan kalpataru, maka pihak yang paling pantas adalah Kelompok UBSP Bulan Indah. Karena kelompok inilah yang merencanakan, menanam dan merawat bakau di Ndete, Desa Reroroja, Kecamatan Magepanda, Kabupaten Sikka di luar tanah milik Baba Akong.

Kesimpulan

Pertama, film ini tidak layak untuk mendapat penghargaan Eagle Award karena fakta-fakta yang diangkat tidak benar alias fiktif, manipulatif dan ahistoris. Sebuah film, terutama dari kategori dokumenter, menurut hemat kami, pada tempat pertama dan terutama harus mengabdi pada kebenaran. Kebenaran yang dimaksud di sini bukan kebenaran dalam arti filosofis, tetapi kebenaran dalam pengertian praktis. Atau tepatnya, kebenaran jurnalistik. Naskah film dokumenter itu harusnya merupakan hasil dari suatu proses yang dimulai dengan disiplin profesional dalam pengumpulan dan verifikasi fakta. Sehingga naskah yang dihasilkan merupakan sebuah naskah yang adil dan terpercaya.

Kedua, kompetisi film yang diselenggarakan Metro TV ini merupakan ajang bagi para pemula. Kedua penulis naskah Prahara Tsunami Bertabur Bakau ini pun merupakan pemula. Tetapi, urusan kebenaran tidak terkait dengan predikat pemula atau profesional. Inti dari penulisan naskah film dokumenter atau karya tulis apa pun adalah disiplin untuk melakukan verifikasi. Penulis perlu mencari berbagai saksi, menyingkap sebanyak mungkin sumber atau bertanya kepada berbagai pihak. Dalam bahasa jurnalistik, penulis perlu melakukan cover bothside atau bahkan cover allside.

Ketiga, maksud kedua penulis untuk mengangkat cerita yang dapat memberikan pencerahan terhadap usaha menjaga keseimbangan alam dan lingkungan, nampaknya tidak tercapai. Pasalnya, film yang mendokumentasikan kebohongan ini sama sekali tidak membawa pencerahan. Sinetron dari Ndete ini, justru menimbulkan banyak kegusaran dan sumpah serapah dari berbagai pihak.

Keempat, bertolak dari fakta-fakta yang telah diuraikan di atas, maka kami menyarankan agar film tersebut tidak ditayang kembali. Atau bila perlu didiskualifikasi dari penghargaan Eagle Award 2008. Kami kuatir, film ini justru dapat memicu terjadinya konflik horisontal di Ndete. Janganlah kiranya kita mendorong warga setempat untuk menuai prahara dari film yang bertabur kebohongan ini.

*) Penulis adalah PLH Direktur Yayasan Karya Sosial (YKS)--Maumere dan Mantan Pimpro Program Rehabilitasi Hutan Bakau Teluk Ndete, Magepanda tahun 1997.

Tuesday, July 22, 2008

KEPEMIMPINAN LAMAHOLOT

Oleh Yoseph Lagadoni Herin

--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Anak Lamaholot kelahiran
Pamakayo, Solor. Sarjana FIA Undana Kupang (1993). Pernah menjadi Wartawan Pos Kupang, Harian Nusa Tenggara Denpasar, Tabloid Perspektif, Majalah Archipelago, Majalah Warta Bisnis, Majalah Media Otonomi (semuanya di Jakarta). Kini Wakil Bupati Flores Timur dan Anggota ‘Paguyuban Peduli Budaya Lamaholot’
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------

ADALAH Willem Openg yang mengawalinya. Melalui artikelnya, (PK 19/6/2008), bertajuk Bupati Flotim dalam Konstelasi Kebudayaan,Willem Openg mengajak sidang pembaca masuk ke dalam ruang Debat Publik dengan tema pokok: Pendekatan Kebudayaan dalam Pembangunan. Belum ada yang menyambut. Lalu muncul tulisan dengan nada yang nyaris sama dari Peka Wisok, Otonomi Daerah dan Pendekatan Kebudayaan (Catatan untuk Flotim), (PK 2/7/2008).

Kedua putra Lamaholot nun jauh di tanah rantau ini berpijak pada peg news yang sama dalam melahirkan tulisan. Yakni berita media massa tentang pernyataan Bupati Flotim Drs Simon Hayon yang dinilai menyesatkan dan mencederai rasa iman umat beragama, terutama Katolik sebagai agama mayoritas. Tulisan mereka mengilhami saya untuk ikut terlibat dalam ruang publik yang telah dibuka. Sebelum jauh melangkah, saya ingin menegaskan, keterlibatan saya semata sebagai putra Lamaholot yang kebetulan senang bersentuhan dengan sastra dan budaya. Sangat personal, tidak ada kaitannya dengan jabatan politik saat ini.

Keyakinan Personal Pejabat Publik

Terhadap pertanyaan yang diajukan Willem Openg dan Peka Wisok: apakah benar Bupati Simon Hayon pernah membuat pernyataan seperti itu, bagi saya semuanya telah jelas. Sebuah logika dasar dalam mata kuliah Pengantar Filsafat yang masih saya ingat mengajarkan begini, ‘ada karena ada’. Artinya, sesuatu itu ada karena sesuatu itu ada. Kalau pernyataan ini masih membingungkan, saya coba memformulasikan dalam bahasa sehari-hari: ada api maka ada asap. Atau, ada asap pasti kerena ada api! Demikianlah!

Indikasi lain dari kejelasan jawaban terhadap pertanyaan di atas adalah klarifikasi Kabag Humas dan Protokol Setda Flotim, Nor Lanjong Kornelis SH, yang tumpang-tindih dengan logika yang terkesan dipaksakan. Dalam harian Pos Kupang, 6 Juni 2008, dia membantah. Dia katakan, Bupati Flotim belum pernah membuat pernyataan resmi bahwa Yesus lahir di Wureh, Nyi Loro Kidul adalah Bunda Maria dan kuburan Firaun ada di Desa Nobo Gayak.

Tapi dalam Koran Spirit NTT edisi 23 – 29 Juni 2008 –koran mingguan yang juga diterbitkan oleh Pos Kupang, Nor Lanjong memberikan klarifikasi yang berbeda. Di media ini dia mengatakan,”Harus dibedakan antara konteks ajaran dan konteks sejarah. Apa yang disampaikan bupati selama ini dalam konteks sejarah, menggali nilai-nilai luhur yang berkembang dalam budaya Lamaholot. Jadi jangan menafsirkan dalam konteks ajaran.” Wow, luar biasa dangkal logika Kabag Humas ini!

Dalam masyarakat berbudaya Lamaholot, koda pulo kehirin lema (selanjutnya disingkat koda-kehirin) atau “sabda” adalah segalanya. Koda-kehirin ibarat kitab suci bagi umat beragama modern. Koda-kehirin adalah akar yang mengilhami dan menginspirasi bertumbuhnya manusia Lamaholot, batang yang menopang tubuh kehidupan Lewotana dan curahan sejuk yang membuat pohon kehidupan manusia Lamaholot di atas tanah leluhurnya menjadi rimbun dengan nilai-nilai yang menyejukan ikatan kebersamaan. Baik kebersamaan dalam hubungan dengan lera wulan-tanah ekan (langit dan bumi: Tuhan), lewo tana (kampung halaman beserta segala isinya yang kelihatan dan tidak kelihatan) serta lango uma-suku ekan (sesama saudara yang kelihatan dan tidak kelihatan).

Singkat kata, koda-kehirin adalah lentera kehidupan masyarakat Lamaholot, sebagai pusat nilai. Koda-kehirin diturunkan secara lisan dari generasi ke generasi dalam bentuk temutu (tuturan). Nor Lanjong, temutu pada hakikatnya adalah ajaran. Ajaran tentang nilai-nilai universal kelamaholotan, tentang prinsip-prinsip hidup sesuai standar atadiken (manusia berbudi-adat). Ada juga ajaran tentang sejarah yakni temutu usu-asa (asal usul). Temutu usu-asa bercerita tentang sejarah, baik sejarah suku, lewotana, maupun sejarah hak ulayat dan lainnya. Lalu mengapa mesti dipisah antara ajaran dan sejarah dalam koda kehirin? Keduanya inheren, melekat, dan tidak saling meniadakan!

Nor Lanjong juga tidak bisa membedakan antara “nilai” dan “fakta”. Penjelasannya dalam Spirit NTT selanjutnya seperti ini,”Selama tiga tahun bupati berkeliling ke desa-desa senantiasa menjujung tinggi adat dan budaya Lamaholot di mana terdapat koda adat (Sabda) yang berisikan ajaran-ajaran/prinsip-prinsip hidup yang disebut koda pulo, kehirin lema. Kalau ada fakta-fakta sejarah baru, pihak arkaelog dari Larus-Prancis (yang benar, Universitas La Rochelle-Prancis, pen) akan menelitinya.”

Fakta Lamaholot itu berbeda bagai langit dan bumi dengan nilai luhur Lamaholot. Masyarakat Lamaholot mendiami wilayah Flores Timur daratan, Pulau Solor, Adonara, Lembata dan sebagian Alor-Pantar serta memiliki sekitar 19 dialek bahasa Lamaholot. Itu fakta. Fakta mengenal ruang dan identitas sehingga bisa dikenal indera-indera. Nilai-nilai luhur adalah sesuatu yang tidak bersentuhan dengan ruang. Sesuatu yang tidak kelihatan, yang hanya bisa dipelajari, dihayati dan dilaksanakan. Itulah bedanya, Nor Lanjong!

Klarifikasi yang tumpang tindih dengan logika yang amburadul seperti ini, sesungguhnya mengandaikan bahwa “sesuatu itu memang ada atau pernah terucapkan.” Di sini menjadi telanjang untuk dibaca bahwa klarifikasi hanya sebagai upaya pembelaan diri di satu sisi, dan pembohongan publik di pihak lainnya. Tampaknya, memiliki sedikit kerendahan hati untuk mengaku khilaf dan meminta maaf sudah menjadi barang langka bagi para pemimpin zaman ini.

Pejabat publik boleh saja bisa berdalih bahwa apa yang disampaikan merupakan pandangan dan keyakinan pribadi (sebagaimana pembelaan seorang ulama Katolik). Pertanyaannya: jika bersifat personal mengapa harus disampaikan ketika sedang melaksanakan tugas-tugas sebagai pejabat publik dan dalam forum publik pula? Masihkah dikatakan masalah personal jika semuanya sudah terlanjur tumpah-ruah ke dalam ruang dan waktu publik?

Sampai pada pertanyaan ini, saya teringat pesan bijak dari negeri Tiongkok. Adalah Baiyun, seorang guru Zen yang berpesan kepada umat Yang Wuwei. “Jika mengucapkan kata-kata, engkau harus selalu mempertimbangkan akibatnya. Jika engkau melaksanakannya, engkau harus mempertimbangkan cakupannya…. Para leluhur berbicara dengan kata-kata yang standar, dan tindakan mereka pun dilakukan dengan cara-cara yang tepat. Sehingga mereka mampu berbicara tanpa menimbulkan masalah dan melakukan sesuatu dengan tidak mendapatkan malu.”

Kepemimpinan Lamaholot

Koda-kehirin Lamaholot menurunkan sejumlah pesan bijak tentang kepemimpinan dan tugas-tugas seorang pemimpin. Intisari ajarannya senafas dengan terminologi kepemimpinan terbaru yang digagas Linda A Hill. Yakni, “tentang bagaimana membangun hubungan emosional untuk memotivasi dan menginspirasi orang-orang.” Dalam konteks kepemimpinan Lamaholot, teori Linda A Hill tertuang dalam ungkapan: huda-adok (menyuruh dan memotivasi) ketika sang pemimpin berada di belakang, gute-gelekat (melayani) ketika berada di tengah dan nurun-noni (memberi petunjuk) ketika berada di depan.

Sebelum huda-adok, seorang pemimpin terlebih dahulu harus pupu ribu-puin ratu, pupu naan getan, puin naan gole (mengumpulkan dan mempersatukan masyarakat). Maksudnya, masyarakat jangan tercerai-berai, sebagaimana ungkapan puin taan uin to’u, gahan taan kahan ehan, atau eket taan to’u helo jin lali jawa, welak taan ehan rupan Tapo teti tonu. Dalam tugas gute-gelekat, pemimpin diharapkan bisa peheng-pegeng (mengayomi), gurun-gawak (melindungi), dan bote-baan (mengangkat harkat dan martabat) masyarakat dan lewotana. Semua tugas gute-gelekat ini tertuang dalam ungkapan: bote teti haak, tedun lali lein; prekun mala manuk ina, prama nope kolon rone (ibarat induk ayam melindungi dan membesarkan anak-anaknya).

Sedangkan tugas nurun-noni mengharapkan seorang pemimpin sebagai suri teladan. Orang Lamaholot mengharapkan pemimpinnya harus selalu benar sebagaimana ungkapan, pana ake tala raran saka matan, gawe ake tala nekin doni jaen. Pile mala uli elan, tada mala raran laen. Temodok di sama todok hala, bewalet di sama walet kurang (pilih jalan yang benar agar jangan sampai tersesat atau terantuk). Tugas nurun-noni juga dimaksudkan sebagai teladan dalam mengamalkan dan melaksanakan nilai-nilai. Karena sang pemimpin sekaligus menjadi guru untuk tutu koda pulo, marin kehirin lema (menuturkan dan mewartakan sabda).

Orang Lamaholot selalu percaya bahwa sebagai pusat nilai, koda-kehirin juga memiliki daya magis. Selain menjadi oksigen bagi nafas hidup manusia, kode-kehirin juga bisa menjadi senjata yang mematikan. Karena itu orang tua selalu punya nasihat, jaga koda-kehirin karena koda bisa leko tuberket, kirin bisa bolak mangerket (hati-hati berbicara karena kata-kata bisa membunuh). Karena itu, dalam menuturkan dan mewartakan sabda, seorang pemimpin harus tahu batasan-batasannya. Koda-kehirin yang dituturkan dan diwartakan harus sesuai dengan temutu yang diturunkan leluhur. Bukan hasil rekaan, khayalan atau halusinasi. Jika pemimpin menuturkan temutu hasil khayalan sendiri, maka bisa disebut dia sedang mengarahkan masyarakat ke dalam jalan sesat.

Barangkali keadaan seperti ini yang sedang terjadi di Flores Timur, lewotana yang agung dan mulia sebagaimana tergambar dalam sapaan lewo ihiken selaka, tana woraken belaon ini. Lagi-lagi saya teringat negeri Tiongkak. Guru Yuan pernah berpesan kepada rekannya Wuzu. Begini pesannya, “Pikiranlah yang menguasai jasmani seseorang dan menjadi dasar bagi berjuta aktivitas. Jika pikiran tidak dicerahkan dengan sempurna, maka khayalan akan muncul dengan sendirinya. Bila khayalan muncul, pengertian terhadap kebenaran menjadi tidak jernih. Benar dan salah menjadi kabur.”

Saya juga teringat seorang guru bangsa Tiongkok lainnya, Kong Hu Cu. Suatu hari ia bersama sejumlah muridnya berjalan melintas di depan istana kaisar. Murid-muridnya bertanya, “Guru , apa yang pertama kali dilakukan, seandainya terpilih menjadi kaisar?”. Sang guru menjawab, “Tentu saja meluruskan bahasa”. Para murid terdiam dan memandang sang guru dengan tatapan penuh tanya. Kong Hu Cu lantas menjabarkan, “ Jika bahasa tidak lurus, apa yang dikatakan bukanlah apa yang dimaksudkan. Jika yang dikatakan bukanlah apa yang dimaksudkan, apa yang seharusnya diperbuat, tidak diperbuat. Jika tidak diperbuat, moral dan seni akan merosot. Jika moral dan seni merosot, keadilan akan tidak jelas arahnya. Jika keadilan tidak jelas arahnya, rakyat hanya akan berdiri dalam kebingungan yang tak tertolong. Maka, tak boleh ada kesewenang-wenangan dengan apa yang dikatakan. Ini yang paling penting di atas segala-galanya.”

Hal lain yang harus diperhatikan pemimpin Lamahaolot dalam menuturkan dan mewartakan koda-kehirin adalah mengetahui mana yang boleh dan mana yang haram. Pemimpin boleh saja mewartakan sabda tentang nilai-nilai universal. Tapi haram hukumnya menyentuh ranah temutu usu-asa (tutur sejarah) dari sebuah suku/marga atau kampung. Karena hukum Lamaholot menyebutkan, temutu usu-asa hanya boleh diceritakan oleh ‘orang dalam’ suku atau pemilik kampung tersebut. Ini dimaksudkan untuk menghindari bias dalam penuturannya.

Repotnya, jika sang pemimpin merasa sok pintar dan tahu segala tentang suku dan kampung orang lain dan secara serampangan memberikan penafsiran atas makna nama dari sisi etimologis. Pemimpin seperti ini bukanlah tipe yang diidealkan dalam konteks budaya Lamaholot. Sejatinya, pemimpin Lamaholot adalah penjaga dan pengawal nilai-nilai. Yang kita saksikan sekarang, tatanan nilai-nilai kelamaholotan sedang diobok-obok oleh mereka yang mengaku pemimpin berparadigma budaya. Tapi mau bilang apa. Semua sudah terjadi. Tak terelakan! (***)

Saturday, May 17, 2008

Pilkada Sikka Akan Melahirkan Pemimpin Ilegal


Penyelenggaraan Pilkada Sikka saat ini telah sampai pada tahapan kampanye. Tetapi sejauh ini, ada kelompok yang tidak puas dan masih terus berupaya mencari kebenaran. Malah Panitia Pengawas (Panwas) Pilkada Sikka pun telah merekomendasikan kepada KPU Pusat agar menghentikan proses yang sedang berlangsung dan mengambilalih kegiatan ini. Apa akar persoalan yang memicu ketidakpuasan tersebut?
Berikut ini petikan wawancara wartawan DEMOS NTT, J.K. Fery Soge dengan anggota DPRD Sikka, Siflan Angi di Maumere, Rabu (2/4/2008). Dengan gaya lugas dan tanpa tedeng aling-aling, Siflan Angi menyoroti masalah-masalah pokok seputar pelaksanaan Pilkada yang disebutnya ilegal.


Proses Pilkada Sikka ini nampaknya akan berjalan terus walau ada rekomendasi dari Panwas agar dihentikan. Bagaimana pendapat Anda?
Pilkada Sikka yang sedang berlangsung ini adalah Pilkada ilegal. Karena apa? Karena proses ini tidak berjalan sesuai aturan dan penyelenggara--dalam hal ini KPUD Sikka tidak netral.

Bisa jelaskan lebih rinci?
Hemat saya, saat KPUD mulai berperan sebagai penyelenggara Pilkada Sikka, mereka harus netral dan independen. Artinya, mereka tidak memihak kepada paket calon mana pun, dan tidak berpikir untuk kepentingan siapa pun. Pada proses verifikasi tahap pertama, KPUD telah melakukan kesalahan fatal. Karena apa? Mereka dengan serta-merta langsung menggugurkan tiga paket calon. Padahal dalam jadwal ada tahapan verifikasi tahap pertama dan tahap kedua.
Artinya, jika pada tahap pertama, paket calon yang belum melengkapi persyaratan sesuai ketentuan undang-undang, harus diberi kesempatan untuk melengkapi berkas-berkas yang masih kurang. Tapi faktanya ketika itu, KPUD langsung membuat keputusan dengan menggugurkan tiga paket calon. Dari proses ini, dapat saya katakan, KPUD Sikka sudah tidak netral.
Karena keputusan yang diambil tidak sesuai aturan, mereka menuai aksi demo dan berbagai kecaman pedas. Akhirnya mereka terpaksa memperbaiki kesalahan itu dengan memberi kesempatan kepada semua paket yang telah mendaftar untuk melengkapi kembali berkas-berkas mereka.
Dari tahapan verifikasi kedua, KPUD meloloskan lima paket calon yang dipandang telah memenuhi semua persyaratan. Ternyata ada masalah juga. Misalnya, ada partai yang mendukung paket calon yang digugurkan pada verifikasi tahap pertama, sekarang dianggap absah.

Dari fakta ini, apakah Anda percaya KPUD melakukan verifikasi ulang?
KPUD Sikka tidak melakukan verifikasi ulang. Contoh yang menyolok itu kasus PKB. Pada tahap pertama, PKB dinyatakan sah mendukung Paket YOSUA, tetapi pada verifikasi kedua, KPUD memutuskan bahwa PKB tidak sah untuk mendukung paket YOSUA. Acuan mana yang dipakai KPUD untuk menyatakan bahwa PKB yang sah adalah yang mendukung Paket MESRA?
Pada verifikasi tahap pertama, KPUD menyatakan Paket MESRA gugur karena DPC PKB yang sah adalah DPC PKB yang mendukung Paket YOSUA. Ketika itu Ketua KPUD, Robby Keupung menyatakan secara tegas bahwa benar PKB yang sah adalah PKB yang bergabung di Koalisi Bagi Rakyat. Bahkan kepada pers, dia memperlihatkan SK pemecatan Ketua PKB Sikka atas nama Dedy da Silva dan SK pengangkatan pengurus PKB Sikka yang baru atas nama Bertolomeus Moa Tidung. Bukan hanya itu. Dia juga memperlihatkan surat rekomendasi DPP PKB yang ditandatangani oleh Sekjen DPP PKB, Yenny Wahid. Tetapi pada verifikasi tahap kedua, pernyataan tegas yang disampaikan Robby Keupung bersama bukti-bukti yang ditunjukan itu, sama sekali diabaikan. Dia malah mengatakan bahwa PKB yang berada di Koalisi Sikka Sejahtera merupakan DPC PKB yang sah karena DPP PKB tidak menarik dukungan.

Mengapa bisa begitu?
Menurut saya, ini bukti dari ketidakpahaman terhadap makna aturan main yang ada. Ini juga pernyataan konyol dan bodoh. Karena apa? Secara hukum, ketika ada SK baru, maka SK lama dengan sendirinya gugur. Jadi, tidak perlu lagi ada penarikan dukungan, seperti dikatakan Roby Keupung. Karena SK baru itu sah secara hukum. Ini artinya, Ketua KPUD Sikka, dengan tahu dan mau memasuki wilayah intern partai. Karena yang berhak menentukan sah tidaknya sebuah kepengurusan partai di tingkat DPC adalah DPP partai bersangkutan, bukan KPUD Sikka.
Dari pernyataan ini, sangat kentara pula bahwa mereka tidak melakukan amanat pasal 43 ayat (2) PP Nomor 6/2005 yang berbunyi: “Penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi penelitian kelengkapan dan keabsahan administrasi pencalonan, serta klarifikasi pada instansi yang berwenang memberikan surat keterangan.”
Ketika para pengurus Koalisi Bagi Rakyat (Kobar) dan Panitia Pengawas (Panwas) meminta hasil verifikasi yang sudah dilaksanakan, KPUD Sikka tidak bisa berkutik karena tidak ada bukti bahwa mereka telah melakukan penelitian kelengkapan dan keabsahan administrasi pencalonan serta klarifikasi pada instansi yang berwenang memberikan surat keterangan, dalam hal ini DPP PKB. Karena apa? Karena mereka ke Jakarta untuk konsultasi dengan KPU Pusat bukan melakukan penelitian dan klarifikasi.
Jadi, keputusan KPUD Sikka ini diambil hanya berdasarkan asumsi atau pendapat. Ini betul-betul fatal dan ngawur. Karena itu, saya katakan penyelenggaraan Pilkada Sikka ini ilegal.

Jika demikian, apakah proses ini masih layak untuk diteruskan?
Karena proses ini ilegal, maka mestinya harus segera dihentikan. KPUD harus tahu bahwa proses ini tidak sama dengan tender proyek. Kalau tender proyek aturannya sudah jelas. Apabila terjadi kesalahan administrasi, kontraktor-kontraktor yang merasa tidak puas dibolehkan melakukan sanggahan, tapi pengerjaan proyek jalan terus.
Penyelanggaraan Pilkada ini jangan disamakan dengan tender proyek. Pilkada ini tidak mengacu pada Keppres No. 80. Aturan Pilkada sudah jelas, kalau dalam proses ini ada yang tidak beres, maka harus dihentikan.

Tapi, nampaknya proses ini akan berjalan terus…
Ya, kelihatannya ibarat anjing menggonggong, kafilah terus berlalu. Saya hanya mau ingatkan bahwa KPUD Sikka telah menanam bom waktu dengan melakukan kesalahan fatal ini. Akibatnya bisa sangat berbahaya kalau diteruskan. Karena apa? Karena proses ini ilegal.

Jika proses Pilkada ini ilegal, berarti pemimpin yang bakal terpilih juga ilegal...
Ya, jelas. Kalau proses ini ilegal, maka pemimpin yang terpilih pun sudah barang tentu ilegal. Masyarakat Kabupaten Sikka ini mau dibawa kemana?

Pasal 42 ayat (1) huruf (j) UU No. 32/2004 berbunyi: “DPRD mempunyai tugas dan wewenang melakukan pengawasan dan meminta laporan KPUD dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerah”. Mengapa amanat ini tidak dilakukan?
Pertanyaan itu betul sekali. Harusnya DPRD memanggil KPUD untuk meminta klarifikasi. DPRD harus tanya kepada KPUD kenapa bisa ribut-ribut begini. DPRD harusnya melakukan uji petik dengan paket-paket yang tidak puas dan dengan KPUD. Dari uji petik ini, DPRD bisa membuat kesimpulan dan memberi jalan keluar yang menyejukan sehingga proses ini benar-benar aman dan sesuai aturan. Tapi, amanat UU itu tidak dilakukan karena ada faktor X.

Bisa dijelaskan?
Masyarakat Kabupaten Sikka pasti sudah tahu apa yang saya maksud. Tapi baiklah. Yang saya maksud dengan faktor X itu adalah hubungan antara Ketua DPRD Sikka dan Ketua KPUD Sikka. Ketua DPRD itu statusnya ayah, sementara Ketua KPUD itu statusnya anak. Jadi, mana mungkin, ayah mau bertindak tegas terhadap anak. Inilah faktor X itu. Dan ini tidak benar. Seharusnya DPRD bisa memanggil KPUD sehingga persoalan yang ada bisa dijernihkan.

Amanat UU itu tidak dilaksanakan, tapi pimpinan Dewan malah sibuk menyoroti kinerja Panwas lantaran memberi rekomendasi kepada KPU Pusat untuk menghentikan pelaksanaan Pilkada Sikka. Bagaimana pendapat Anda?
Ya, ini sebenarnya DPRD sedang membuat lelucon yang tidak perlu dan menunjukkan kebodohan kepada publik. Panwas sudah menjalan tugas dan kewenangannya untuk mengawasi Pilkada. Mereka sudah bekerja sesuai Tupoksi mereka. Kenapa DPRD harus memanggil Panwas untuk memberi klarifikasi karena menemukan kejanggalan dalam pelaksanaan Pilkada? Ada apa ini? Bukannya memanggil KPUD karena telah melakukan kesalahan fatal tetapi memanggil Panwas karena menemukan kejanggalan. DPRD ini lembaga yang terhormat atau apa?

Pimpinan DPRD juga mempersoalkan kehadiran Ketua Panwas di tengah massa YOSUA yang melakukan aksi demo di KPUD Sikka. Ketua Panwas disebut telah melakukan orasi. Komentar Anda?
Aturan mana yang mengatakan Ketua Panwas tidak boleh orasi? Saya kira, Ketua Panwas boleh dan sah memberikan apresiasi politik. Apalagi saat itu situasi mulai memanas. Massa mulai saling dorong dengan aparat keamanan. Dia justru tampil di tengah massa untuk memberi kesejukan. Bahwa benar KPUD telah melakukan kesalahan administrasi dan melanggar kode etik KPU. Seharusnya pimpinan Dewan memberikan apresiasi dan mengucapkan terima kasih kepada Panwas karena mereka telah menjalankan tugas dan kewenangan mereka sesuai aturan. (*)

Thursday, April 24, 2008

coba

Hari ini, Jumat, 25/4/2008, saya mulai buka blogger.com dan belajar untuk buka account sendiri. moga-moga tidak sekedar buka dan selesai, tapi menjadi awal yang baik terus menulis.